Kamis, 29 Agustus 2013

a.Berbagai Kendala Proses Transisi Demokrasi
Beberapa peristiwa dunia akhir ini, ditandai dengan maraknya gerakan massa yang menuntut perubahan mendasar terhadap struklur politik dan ketatanegaraan, selain menuntut perbaikan sosial-ekonomi. Itu semua oleh pengamat disebut sebagi gelombang transisi menuju demokrasi dalam skala dunia. Runtuhnya tembok Berlin, gerakan pro-demokrasi di Hongaria/ Cekoslowakia, termasuk di belahan negara sosialis seperti Eropa Timur, Cina, Vietnam, dan Nikaragua, Yugoslavia merupakan bukti atas gerakan itu. Sehingga, sejak awal dasa warsa delapan puluhan, di negara-negara itu dapat dikatakan tidak mengenal “tanpa “desakan rakyat”.
Itu semua oleh, Francis Fukuyama (1992: 7-12.), dianggap sebagai proses yang sangat menjanjikan terhadap proses demokrasi. Proses itu menurutnya dianggap sebagai proses menuju the end of historis, yang berwujud kemenangan kapitalisme, dan demokrasi liberal di seluruh bumi. Melihat fenomena ini Fukuyama yakin bahwa proses sejarah demokrasi di dunia dapat diprediksi berjalan secara linier utopis. Sehingga Fukuyama yakin seluruh dunia akan menganut sistem demokrasi sebagai sistem nemerintahan terbaik, dengan demikian the end of historis akan terlaksana.
Proses demokrasi yang diprediksi oleh Fukuyama akan berjalan linier, di bawah payung ekonomi liberal produk dari proyek pencerahan (enlightenmeney). Hal ini ternyata masih perlu dipertanyakan, termasuk dalam penelitian ini akan berusaha membuktikan linieritas proses demokratisasi yang meliputi liberalisasi, transisi, dan konsolidasi dari Huntington.
Minimal ada dua kendala dalam proses transisi demokrasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Di Eropa Timur muncullah aksi-aksi protes bercorak rasial seperti di Jerman dan Perancis, gejolak konflik etnis dan agama, seperti di Cekoslowakia dan Indonesia, termasuk di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Sofyet, munculnya kembali aspirasi komunis seperti di Polandia dan Rusia. Di Cina hambatan internal berupa pembantaian berdarah di lapangan Tiananmen (Wang, 1997). Richard Rose (2000) dalam penelitiannya yang membahas hambatan demokrasi tingkat adtvice di Austria dan Switzerland, menyimpulkan bahwa Consensus antar elit partai runtuh karena (1) setiap orang  mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menentukan masa depan pemerintahan dan partainya, (2) adanya provokasi antar pendukung partai sehingga memperuncing konsensus yang telah disepakati.
Hambatan eksternal dan juga internal secara bersama-sama banyak ditemui di negara Amerika Latin, Afrika dan Asia, di mana kilter menunjukkan tanda-tanda tidak mau kembali ke barak. Di Asia sebagai contoh Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Kamboja proses transisi juga masih menemui kendala baik internal maupun eksternal (Curtis, 1997). Di Amerika Latin, seperti di Cili, Brazil, Argentina, Venezuela, Nikaragua, ([an Meksiko demokrasi juga masih menemui hambatan (Whitehead 2000). Di Afrika dan Timur Tengah, seperti Iran, Mesir, Marokn Negeria, Sudan, Arab Saudi, Oman demokrasi juga masih saneat alot (Johanbegloo, 1997).
Kasus yang lebih tragis lagi adalah di Aljazair, Irak Libia Somalia, El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar, Korea Utara, di mana demokrasi telah hilang kembali dari putaran neeara itu, berubah menjadi negara yang otoriter-diktator.
Kendala internal dan eksternal sama kuatnya menghalanei proses-proses politik yang mengarah pada proses transisi demokrasi, termasuk di Indonesa, dengan tidak menutup kemungkinan transisi demokrasi di pedesaan juga akan menemui berbagai kendala meskipun dikemas dalam bingkai otonomi. Kendala yang muncul pada tingkat nasional dapat dikategorikan menjadi enam yaitu: (1) ancaman disintegrasi bangsa, (2) konflik SARA, (3) tidak ada penegakan hukum, (4) ancaman kebebasan pers dari intimidasi, (5) ancaman militerismg, dan (6) kurupsi meraja lela (Abdullah, 2000). Sedangkan kendala pada tingkat desa dapat diidentifikasi seperti (1) menguatnya etnisitas, (2) budaya masyarakat desa yang bertentangan dengan demokrasi seperti offer permisive dan terlalu percaya dan patuh pada pimpinan, dan (3) rendahnya tingkat pendidikan politik. Oleh karena itu, dnpat dikatakan proses demokrasi masih jauh dari prediksi “sejarah linier-utopisnya   Fukuyama”.   Dengan   demikian   harapan messianistik tentang the cud of history masih perlu dibuktikan kembali dengan penelitian ini. Termasuk tesis Huntington bahwa demokratisasi berjalan linier dari liberalisasi, transisi, dankonsolidasi mengingat banyak negara setelah terjadi transisi tidak diikuti proses konsolidasi tetapi kembali ke otoriter.
Perspektif Transisi Menuju Demokrasi
Ada empat perspektif arus utara yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi dalam skala global dan perubahanpolitik di Indonesia. (1) pendekatan yang berpusat pada masyarakat, (2) pendekatan yang berpusat pada negara, pendckatan kontingensi elite, dan (4) pendekatan kontekstual yang
berfokus pada lingkungan terbesar yang melengkupi proses transisi.


Ada yang harus diperhatikan ketika banyak bangsa lain menghadapi sebuah krisis di dalam negaranya, goyangnya system ekonomi yang buruk di dalam daulatnya sebuah negara maka niscahya berpengaruh terhadap kondisi politik negara tersebut, berawal dari sebuah gangguan perekonomian dalam negerinya politik sudah barang tentu menjadi pertaruhan hidup dan mati bagi sistem pemerintahan yang sedang berlangsung.

Seperti yang sudah-sudah banyak negara goyah akibat tidak bisa mengendalikan carut-marut nya ekonomi di dalam negeri mereka, itu berdampak pada krisis politik, lebih parahnya lagi campur tangan dunia luar karena ketidaksukaan atas pemerintahan yang sedang berlangsung semakin membuat kondisi negara tersebut seperti perang saudara, padahal jika negara tersebut lebih mengutamakan solidaritas para pemimpin dan bawahannya, serta tidak adanya sikap ingin menghancurkan penguasa maka kehancuran pemerintahan itu tidak akan terjadi.

Pemerintah Indonesia melihat kasus-kasus yang dialami negara tetangga sebagai pembelajaran bersama bahwa, tidak sembarangan membangun sebuah komunikasi politik jika memang kondisi ekonomi sedang tidak stabil, Presiden SBY selaku kepala negara pernah berkata kepada seluruh jajaran menterinya di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, SBY menyerukan sekaligus memperingatkan adanya gangguan-gangguan baik berskala kecil maupun besar itu bisa menjadi sebuah bom waktu bagi kondisi Politik bangsa Indonesia, apalagi kita saat ini (Indonesia) tengah berada dalam transformasi Ekonomi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar para menteri dapat menjaga stabilitas perekonomian nasional, dan mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah ekonomi, sehingga tidak mempengaruhi politik dan juga sosial.

Ini peringatan yang harus benar-benar dicermati bersama, tidak sedikit masalah di dalam negeri yang banyak menyita waktu kita bersama, permasalahan baik ekonomi, sosial dalam negeri bisa sangat berpengaruh terhadap kondisi politik bangsa Indonesia saat ini maupun masa mendatang, hal yang paling penting dan harus kita cermati bersama saat ini ialah, bentuk kepedulian terhadap masalah-masalah bangsa merupakan formula yang baik guna mengendalikan benang kusut kondisi politik dalam negeri pascatransformasi Ekonomi bangsa Indonesia saat ini dan di masa mendatang. *** - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/08/01/58/845642/pengaruh-ekonomi-terhadap-kondisi-sosial-dan-politik#sthash.vv2uQNtD.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar