b.Pengaruh Belanda di Indonesia
Saat ini seringkali muncul stereotype
bernada negatif atas budaya Barat. Di Indonesia, budaya Barat disebar
seiring kekuasaan kolonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini
adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan kolonisasi
atas kepulauan nusantara. Kendati demikian, terdapat pengaruh Barat
tertentu yang terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia
hingga kini. Misalnya sistem pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu
komponen nonmaterial kebudayaan yang punya peran signifikan dalam
melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme administratif
pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri atas pembentukan
sistem sosial (politik) Indonesia.
Bangsa Barat utama yang pengaruhnya
cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya
kedua bangsa ini sebagian terserap ke dalam struktur budaya Indonesia.
Namun, sisa-sisa pengaruh ini kurang begitu kuat mempengaruhi benak
kesadaran orang Indonesia, mungkin akibat perbedaan blue print
manusianya (barat versus timur). Budaya Barat, sesuai namanya, merupakan
produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan
individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan bagian
bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.
Koentjaraningrat mencatat, pengaruh
budaya barat atas Indonesia diawali aktivitas perdagangan Portugis paruh
pertama abad ke-16.[1] Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan
dagang di barat kepulauan Indonesia. Penaklukan membuat Portugis mampu
mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala
penaklukan terjadi, Islam tengah tumbuh sebagai agama dan budaya baru
nusantara. Tidak perlu waktu lama, Islam berangsur jadi agama dominan di
kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap
digeneralisasi menjadi konflik Barat versus Islam. Konflik bahkan masih
terus berlangsung hingga tulisan ini dibuat.
Tahun 1641 orang Belanda merebut Malaka
dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 mereka sudah membangun benteng
kuat di Batavia saat menguasai Banten, pelabuhan dagang nusantara lain
yang penting. Tahun 1755, VOC mengadakan perjanjian Gianti dengan
Mataram Islam, kerajaan yang merupakan salah satu rival mereka dalam
menguasai jalur dagang. Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi
Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC (perusahaan
swasta Belanda) bangkrut. Mulai tahun tersebut orang-orang Belanda
mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.
Tahun 1824 Belanda menukar Singapura
dengan Bengkulu. Singapura awalnya dikuasai Belanda dan Bengkulu oleh
Inggris. Lokasi Bengkulu terisolasi di bagian selatan-barat pulau
Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat usai Perang
Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda, hanya
setelah berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba. Tahun 1894, Lombok
masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali tahun 1906, lewat Perang Badung
(Puputan Badung). Aceh terakhir masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada
1903 (atau 1905), setelah perang kurang lebih 30 tahun sejak 1873. Dari
paparan ini tampak kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung gradual.
Wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya. Kendati
demikian, tetap ada wilayah yang tidak terjamah kekuasaan kolonial
Belanda.
Bernard H.M. Vlekke membagi pengaruh
Belanda di nusantara ke dalam tiga bagian.[2] Pertama, di Sumatera dan
Kalimantan pengaruh orang Eropa hampir tidak punya dampak pada kehidupan
pribumi. Kedua, pengaruh di bagian timur kuat tetapi opresif. Ketiga,
di Jawa di mana Belanda mampu mencengkeram hingga pedalaman dan
menimbulkan perubahan struktur sosial serta ekonomi orang Indonesia.
Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara
berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama kaum buruh yang
meninggalkan budaya tani untuk menjadi pelayan rumah tangga Eropa,
tukang, atau buruh industri. Lapisan kedua kaum pegawai (priyayi) yang
bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda
terlebih dahulu.[3] Lapisan ketiga, kelas menengah baru pribumi yang
melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum digarap pengusaha
Cina (dan Asia lain) seperti rokok kretek, batik, tenun, ataupun
kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belum ada di
Indonesia sebelum pengaruh Belanda.
Pendidikan. Salah satu pengaruh
peradaban Belanda atas struktur budaya Indonesia adalah pendidikan.
Sistem pendidikan Belanda bersaing dengan sistem pendidikan lokal
Indonesia yang umumnya berupa pecantrikan dan mandala. Juga,
sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan
yang banyak dipengaruhi Islam.
Sekolah, sebagai basis proses pendidikan
formal Indonesia saat ini, merupakan wujud nyata membekasnya pengaruh
Belanda. Peserta didik dibagi ke dalam lokal-lokal menurut rombongan
belajar, di setiap kelas peserta didik duduk dalam beberapa banjar
menghadap ke depan, dan guru berdiri di muka kelas selaku narasumber
utama belajar. Ini serupa dengan struktur kelas di dalam gereja sejak
masa skolastik Eropa. Namun, sistem persekolahan Belanda awalnya
bersifat segregatif. Ada sekolah khusus Belanda dan Eropa seperti
Europesche Lagere School (ELS), untuk Tionghoa semisal Hollands Chinese
School, ataupun Indlansche School untuk pribumi.
Ciri umum sistem pendidikan Belanda
adalah pembagian jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu
jenjang pendidikan dasar ditempuh selama lima atau enam tahun dan
lanjutannya selama tiga tahun. Selain itu, terdapat prasyarat usia
sebelum seorang peserta didik dimasukkan ke jenjang pendidikan tertentu.
Sistem pendidikan barat di Indonesia lebih serius digarap Belanda sejak
abad ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun
1911 lewat tokoh liberalnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan
pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk
menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi
kolonial. Ini guna mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda.
Luasnya wilayah kelola tentu diiringi kerumitan serupa dalam tata
administrasinya.[4]
Rumah Tinggal. Peninggalan budaya
Belanda lain adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang
Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana
tanah dan material bangunannya cukup mahal. Selain orang biasa,
konstruksi bangunan Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga
priyayi Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan
Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi
rumah-rumah Belanda. Bangunan Belanda kerap disebut puri Belanda, yang
juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang.
Umumnya, gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun bergaya
Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar
dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.
Budaya Indis. Seputar pengaruh budaya
Belanda, Djoko Sukiman menjelaskan terbitnya kebudayaan Indis. Indis
adalah kebudayaan campuran antara budaya Belanda dengan Pribumi. Indis
terutama berkembang di pulau Jawa antara abad ke-18 hingga 19.
Kebudayaan Indis dapat diidentifikasi pada pelacakan pengaruh budaya
Belanda atas tujuh unsur budaya universal (yang awalnya dimiliki
kalangan pribumi) yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup
manusia, matapencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan,
kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.[5] Namun, praktek budaya Indis
lebih dialami masyarakat pribumi di Jawa, khususnya kalangan menengah ke
atas.
Agama. Belanda merupakan rival Portugis
dalam dominasi jalur-jalur dagang nusantara. Dominasi Portugis berhasil
dipatahkan Belanda dengan merebut Malaka dari tangan mereka tahun 1611.
Dominasi Portugis di Maluku juga beralih ke tangan Belanda tahun 1621,
ketika Jan Pieterszoon Coen mendirikan pos perdagangan kumpeni (VOC) di
Kepulauan Banda.
Naiknya dominasi Belanda membuat
pergerakan misionaris Katolik Portugis tersendat untuk kemudian
digantikan zending Protestan Belanda. Kekuatan pengaruh Katolik Portugis
hanya tersisa di Flores dan Timor. Pengaruh Belanda di bidang agama
terutama di Sumatera Utara (terutama di Tanah Batak), Sulawesi Utara
(terutama di Manado dan Minahasa), Kepulauan Maluku (terutama di Ambon),
Papua (termasuk Papua Barat), serta Sulawesi Tengah-Selatan (terutama
Tana Toraja).
Pengaruh Portugis di Indonesia
Pengaruh Portugis di Indonesia berkisar
antara pengaruh agama, kesenian (utamanya musik), ataupun bahasa. Selain
bangunan, orang Portugis yang pernah datang membangun koloni ataupun
sekadar transit dagang di Indonesia, juga mendirikan pemukiman. Ini
misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya
membentuk koloni. Kendati kini menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut
dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni
musik Portugis.
Kampung Tugu. Masyarakat kampung Tugu
lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara dan masih dapat ditemui
hingga kini.[6] Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis
di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan
Srilanka. Pada abad ke-17 mereka diboyong kolonial Belanda ke Batavia
sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis
(sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian
besar mereka pindah ke Kampung Tugu.
Kesenian. Victor Ganap menyatakan musik
keroncong berasal dari musik Portugis abad ke-16 yang disebut fado,
berasal dari istilah Latin yang berarti nasib.[7] Musik ini tadinya
populer di lingkungan perkotaan Portugis (sekarang Portugal). Fado
sendiri awalnya adalah nyanyian (mornas) yang dibawa para budak negro
dari Cape Verde, Afrika Barat ke Portugis sejak abad ke-15.
Lambat-laun, fado berkembang menjadi
lagu perkotaan dan pengiring tari-tarian. Tarian yang diiringi fado
dipengaruhi budaya Islam yang dibawa bangsa Moor asal Afrika Utara saat
menaklukan Selat Gibraltar di bawah pimpinan panglima Tariq ibn Ziyad
pada abad ke-7 Masehi. Setelah dipengaruhi Islam, tarian tersebut
dinamakan moresco. Moresco adalah tarian hiburan para elit Portugis yang
biasanya dibawakan penari bangsa Moor.
Moresco di Portugis masa itu adalah kata
yang digunakan untuk melukiskan seni yang dianggap bernafaskan
keislaman. Lawannya adalah cafrinho, asal katanya kafr (kafir) yang
digunakan untuk melukiskan seni yang dibawakan kaum creolis Portugis di
Goa, India. Alat musik pengiring moresco adalah gitar kecil bernama
cavaquinho yang dibawa para pelaut Portugis dalam penjelajahan dunia
mereka. Ketika masuk Indonesia, alat musik tersebut digunakan untuk
menyanyikan lagu pengiring tarian moresco. Karena suara yang dikeluarkan
berbunyi crong-crong sehingga oleh orang Indonesia musik pengiring
tarian tersebut kemudian dinamakan Keroncong. Musik Keroncong tetap
hidup, dimainkan, dan memiliki penggemarnya di Indonesia hingga masa
kini. Bahkan televisi nasional Indonesia (TVRI) menyiarkan acara khusus
musik keroncong ini minimal satu kali dalam seminggunya. Ini belum
termasuk radio-radio siaran swasta nasional yang membawakannya.
Paramita Rahayu Abdurachman – lewat
salah satu penelitiannya – mencatat sekurang-kurangnya jejak peninggalan
budaya Portugis yang masih membekas di bumi nusantara dapat ditelusuri
di Jakarta, Maluku Utara, Maluku Tengah, Ambon, Solor dan Flores.[8] Di
Jakarta, peninggalan budaya Portugis selain Keroncong adalah Tanjidor
dan Ondel-ondel.
Dalam bahasa Portugis dikenal kata
tanger yang artinya memainkan alat musik dan tangedor (lafalnya:
tanjedor) yang artinya seorang yang memainkan alat musik snaar (tali) di
luar ruangan.[9] Di Portugal, tangedores hingga saat ini ditampilkan
untuk mengiringi pawai keagamaan setiap tanggal 24 Juni. Alat yang
dipakai adalah tanbur Turki, tanbur sedang, seruling, dan berbagai
terompet. Uniknya, pawai diikuti boneka-boneka besar yang selalu
berpasangan (laki-laki dan perempuan), dibawakan dua orang di mana satu
duduk di pundak dan satunya di bawah serupa dengan ondel-ondel Betawi
masa lalu. Ondel-ondel ini bergerak menandak-nandak diiringi musik
tanjidor. Abdurachman mencatat baik tanjidor maupun ondel-ondel sekarang
sudah diIndonesiakan, karena pengiringannya sudah ditambah gamelan,
gong, dan kécrék.
Bahasa. Beberapa kosa kata Indonesia
diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola (viola), meja
(mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita
(fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol
(tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal
(avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada,
bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta, dan masih banyak lagi.
Agama. Denys Lombard menulis, umat
Kristen tertua Indonesia adalah Katolik. Komunitas awal mereka terbangun
di lokasi mana orang Portugis mendirikan gereja pertama mereka.[10]
Tidak seperti Filipina atau Vietnam, jumlah orang Kristen Indonesia
secara proporsional selalu minoritas. Tahun 1510, Portugis menguasai Goa
(India). Di sana mereka dirikan pangkalan dagang, instalasi militer,
dan pusat misi. Tahun 1511, mereka berhasil mencapai Malaka dan Nopember
1511, Portugis berangkat dari Malaka ke Maluku, tepatnya Kepulauan
Banda. Mereka tiba tahun 1512. Saat Portugis datang, penduduk Banda
telah menganut agama Islam.
Dari Banda, Portugis menuju Ternate. Di
perjalanan, mereka singgah di Ambon, yang sebagian besar penduduknya
juga sudah beragama Islam. Bahkan, di Maluku utara telah berkuasa
sultan-sultan Islam di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan
Ternate dan Tidore tidak menyukai cokolan Portugis di Malaka karena
memutus jalur utama perdagangan saudagar Islam. Namun, tahun 1512
Portugis berhasil masuk lewat jalinan aliansi dagang dengan Abu Lais,
sultan Ternate. Portugis menawarkan pembelian cengkeh dari Ternate
dengan harga tinggi. Dari tawaran ini, Sultan berharap bisa menyaingi
kemakmuran Tidore dan Jailolo, dua pesaingnya. Tidore dan Jailolo lalu
membalas dengan menyekutui Spanyol yang hadir di Tidore tahun 1521.
Tanggal 24 Juni 1522 di Ternate
dilakukan peletakan batu pertama benteng Portugis (dinamakan Sao Paulo),
lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Pada masa pemerintahan Sultan
Tabarija (1523 – 1535) terjadi pembaptisan pertama atas sangaji (kepala
suku) wilayah Moro, Halmahera tahun 1534.[11] Misi di luar Halmahera
diteruskan tahun 1546 setelah datangnya Fransiscus Xaverius. Komunitas
Kristen yang dipengaruhi Portugis tersebar di Kepulauan Maluku dan
daerah tertentu di Kepulauan Sunda Kecil (khususnya Nusa Tenggara
Timur). Tidak lama setelah agama Katolik berkembang, Protestan masuk ke
Indonesia lewat perantaraan Belanda.
c.Pengaruh Jepang di Indonesia
Penjajahan Jepang, seperti Inggris,
masuk ke dalam kategori fase kolonial singkat. Kendati singkat, Jepang
memiliki bekas peninggalan budaya yang terus digunakan (atau bermanfaat)
bagi bangsa Indonesia di masa kemudian.
Struktur Masyarakat. Awalnya Indonesia
hanya mengenal desa (atau dukuh) selaku susunan pemerintahan terkecil.
Namun, seiring berkembangnya pemerintahan kolonial Jepang, struktur
terkecil tersebut dibagi lebih lanjut ke dalam satuan-satuan yang lebih
kecil. Satuannya dinamakan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Sistem ini telah diaplikasikan di Jepang dengan nama Tonarigumi. Alasan
pembentukan RT dan RW oleh Jepang demi kemudahan administrasi dan
kontrol. Jadi, bukan seperti desa asli Indonesia yang tumbuh alami,
tonarigumi digunakan sebagai upaya kendali dan mobilisasi Jepang atas
penduduk Indonesia. Ironisnya, upaya ini justru dilestarikan pemerintah
Indonesia. Hingga kini RT dan RW tetap dipertahankan selaku unit
administratif terkecil sekaligus menunjukkan faedahnya bagi kemaslahatan
koordinasi administrasi negara Indonesia modern.
Bahasa. Pendudukan Jepang, di samping
berefek negatif, juga memiliki dampak positif dalam budaya bahasa.
Segera setelah Jepang mengusir Belanda, segala hal berbau Belanda dan
Barat dilarang di semua toko-toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan,
dan papan-papan nama umum. Bahasa pengganti yang diperkenankan hanyalah
Bahasa Indonesia dan Jepang. Kini mulailah bahasa Indonesia mengalami
perkembangan pesat.[12] Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda
dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh
Indonesia, tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan
Bahasa Indonesia yang pada akhirnya berhasil mengkodifikasi 7.000
istilah bahasa Indonesia modern (saat itu).
Kesenian. Demi alasan politik anti
Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan)
tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi aktivitas
budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29
Agustus 1942, lembaga ini mengadakan pameran karya pelukis lokal
Indonesia seperti Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja
Soetara, Kartono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga
memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel Simanjuntak membentuk grup seni
suara yang melahirkan lagu-lagu nasional Indonesia. Lahirlah lagu-lagu
nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-Putri Indonesia, Tanah
Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga memungkinkan Nur Sutan
Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim Halim melahirkan
Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama karya
budayawan Indonesia juga lahir seperti Api dan Tjitra (temanya
pengabdian tanah air) karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau
Intelek Istimewa karya Abu Hanifah.
Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan
Aktris Film Indonesia (Persafi). Persafi mendorong artis-artis
profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan mementaskan
lakon-lakon terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Sandiwara,
sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah
pendudukan Jepang karena sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara
hampir tidak dikenal di Indonesia.
Militer. Langsung ataupun tidak
langsung, Jepang membantu Indonesia (utamanya pemuda) membentuk semangat
nasionalisme.[13] Jepang melakukan ini lewat tiga cara, yaitu: (1)
Pengerahan pemuda; (2) Pembentukan organisasi semi-militer; dan (3)
Pembentukan organisasi militer. Tentu saja, ketiga bentuk ini
dimaksudkan demi kepentingan perang Jepang. Namun, efek sampingnya
justru menguntungkan (bless in disguise) bagi Indonesia.
Pertama, Jepang menyasar kalangan muda
Indonesia dari kota dan desa tanpa diskriminasi pendidikan
(berpendidikan ataupun tidak, semua direkrut). Pemuda disasar Jepang
karena usia produktifnya, giat, penuh semangat, dan idealis. Jepang
mendidik para pemuda sebagai saudara muda. Mereka menanamkan nilai
seishin (semangat) dan bushido (jiwa satria), dengan penekanan pada
kesetiaan dan bakti kepada tuannya (Jepang). Para pemuda juga dididik
kedisiplinan dan upaya psikologis memutus rasa rendah diri dan semangat
budak. Organisasi bentukan Jepang untuk keperluan ini Barisan Pemuda
Asia Raya di tingkat pusat (Jakarta) tanggal 11 Juni 1942 yang dipimpin
dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Badan serupa juga dibentuk di
daerah-daerah dengan nama Komite Penginsyafan Pemuda. Selain itu, Jepang
juga membentuk Perserikatan Olahraga Pulau Jawa (Tai Iku Kai) tahun
1942, aktivasi kegiatan senam pagi di sekolah-sekolah, pelatihan
baris-berbaris atas pelajar, serta pelatihan beladiri (sumo, kendo).
Organisasi olahraga juga dibentuk dengan nama Gerakan Latihan Olahraga
Organisasi Rakyat (Glora). Sudirman (pebulutangkis, namanya diabadikan
jadi nama piala) adalah tokoh yang dihasilkan dari masa Jepang ini.
Kedua, Jepang membentuk organisasi semi
militer seperti seinendan dan keibodan. Saat akhir kekuasaan Jepang,
anggota seinendan mencapai sekitar 500.000 pemuda. Anggota seinendan
harus berusia 14–22 tahun, muatan pendidikannya adalah pertahanan diri
dan penyerangan. Dalam perang Asia Timur Raya, Seinendan digunakan
Jepang sebagai barisan cadangan dengan tugas utama mengamankan garis
belakang.
Keibodan adalah pembantu polisi. Tugas
utamanya penjagaan lalu-lintas dan pengamanan desa. Anggota keibodan
harus berusia 26–35 tahun. Jumlah pemuda Indonesia yang jadi anggota
keibodan lebih dari 1.000.000 orang. Di Sumatera, keibodan disebut
bogodan sementara di Kalimantan dinamakan borneo konan hokokudan. Baik
seinendan maupun keibodan dibentuk Jepang hingga ke pelosok wilayah
Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, belum pernah ada pengorganisasian
massa seperti pernah Jepang lakukan, bahkan Belanda pun tidak pernah
bisa menyainginya.
Kaum perempuan tidak ketinggalan
diorganisir Jepang lewat pembentukan fujinkai (himpunan perempuan).
Perempuan keluar dari wilayah domestik menuju publik. Untuk gabung
dengan fujinkai, perempuan harus berusia minimal 15 tahun. Fujinkai
diberi pelatihan dasar militer (dengan fungsi utama mirip seinendan).
Fujinkai mengadakan kursus dan ceramah seputar pentingnya menabung,
meningkatkan kesehatan pribadi dan makanan, serta kepalangmerahan.
Jepang membentuk suishintai (barisan
pelopor) saat mereka mulai banyak menderita kekalahan dalam front-front
pertempuran. Suishintai dipimpin pergerakan nasionalis Indonesia seperti
Sukarno, Oto Iskandar Dinata, dan Buntaran Martoatmojo. Tugas utama
suishintai memperdalam kesadaran rakyat terhadap kewajibannya dan
membangun persaudaraan seluruh rakyat. Jumlah anggota suishintai
kira-kira 60.000 orang dan terkonsentrasi di kota-kota besar. Suishintai
juga bertugas melatih pemuda, mendengarkan pidato tokoh-tokoh
nasionalis, dan mendiseminasi muatan pidato kepada orang lain. Ada juga
kelompok suishintai istimewa yang jumlahnya 100 orang di antaranya
Supeno, Dipa Nusantara Aidit, Djohar Nur, Asmara Hadi, Sidik Kertapati,
dan Inu Kertapati.
Di masa Jepang juga dibentuk Hizbullah,
organisasi semi-militer pemuda di bawah Masyumi. Pimpinan Hizbullah
Zainal Arifin adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Usia pemuda yang diterima
17–25 tahun dan belum berkeluarga. Hizbullah dimaksudkan sebagai
cadangan Peta. Selain yang telah disebut, organisasi semi-militer Jepang
lainnya adalah jibakutai dan gakutotai.
Ketiga, Jepang membentuk organisasi
militer. Organisasi ini misalnya heiho yang fungsinya membantu prajurit
Jepang dan langsung ditempatkan dalam organisasi militer Angkatan Darat
dan Angkatan Laut. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang, tercatat jumlah
heiho sebesar 42.000 orang. Bagi Jepang, heiho lebih terlatih dalam
perang ketimbang Peta karena berada langsung di garis peperangan, baik
memegang senjata anti pesawat terbang, tank, artileri medan, maupun
mengemudi. Namun, tidak seperti Peta, tidak ada heiho yang menjadi
perwira.
Peta awalnya diselenggarakan Seksi
Khusus Bagian Intelijen Angkatan Darat ke-16 Jepang. Anggota Peta
dilatih dalam seinen dojo (panti pelatihan pemuda). Perwira lulusan
seinen dojo angkatan pertama di antaranya Umar Wirahadikusumah, Kemal
Idris, R.A. Kosasih, dan Daan Mogot. Saat seinen dojo angkatan kedua
berakhir, keluarlah perintah membentuk tentara Peta. Jenderal Besar
Soeharto adalah perwira hasil didikan Peta, yang di masa hidupnya
berhasil menjabat selaku presiden terlama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar